Faktor Resiko
Faktor resiko stroke berulang dapat diubah sama dengan faktor stroke
secara umum antara lain: hipertensi, diabetes mellitus, kelainan jantung,
kebiasaan merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktifitas fisik/olahraga,
kepatuhan kontrol, obesitas, dan kepatuhan diit (Husni & Laksmawati, 2001.
Lumantobing, 2002. Smeltzer & Bare, 2002. Black & Hawks, 2009. Wahyu,
2009. Pinzon & Asanti, 2010. Junaidi, 2011).
a.
Hipertensi
Hipertensi
merupakan faktor resiko terpenting untuk semua tipe stroke, baik stroke
perdarahan maupun stroke infark. Peningkatan resiko stroke terjadi seiring
dengan peningkatan tekanan darah. Diperkirakan resiko stroke meningkat 1,6 kali
setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik dan sekitar 50 % kejadian
stroke dapat dicegah dengan pengendalian tekanan darah (Gofir, 2009).
Hipertensi meningkatkan resiko stroke 2-4 kali lipat tanpa tergantung pada
faktor resiko lainnya. Hipertensi kronis dan tidak terkendali akan memacu
kekakuan dinding pembulu darah kecil yang dikenal dengan mikroangiopati.
Hipertensi juga akan memacu munculnya timbunan plat pada pembuluh darah besar.
Timbunan plak akan menyempitkan lumen atau diameter pembuluh darah. Plak yang
tidak stabil akan mudah ruptur atau pecah dan terlepas. Plak yang terlepas akan
meningkatkan resiko tersumbatnya pembuluh darah yang lebih kecil. Bila ini
terjadi maka timbulnya gejala stroke (Perreu & Bogusslavsky, 2003 dalam
Pinzon & Asanti, 2010). Hipertensi mempercepat pengerasan dinding pembuluh
darah arteri dan mengakibatkan penghancuran lemak pada sel otot polos sehingga
mempercepat proses aterosklerosis. Hipertensi berperanan dalam proses
aterosklerosis melalui efek penekanan pada sel endotel atau lapisan dalam
dinding arteri yang berakibat pembentukan plak pembuluh darah semakin cepat
seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya 140/90 mmHg (Junaidi,
2011).
Peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dapat
meningkatkan terjadinya stroke (Lewis et al, 2007). Penelitian Zhang dkk
(2010), di Cina menunjukan bahwa tingginya tekanan darah sistolik dapat
meningkatkan kejadian stroke. Penelitian yang dilakukan oleh Kristiyawati
(2008), menunjukan adanya hubungan antara kejadian stroke dengan hipertensi dan
hipertensi merupakan faktor resiko paling dominan yang berhubungan dengan
kejadian stroke.
b.
Diabetes Mellitus
Individu dengan
diabetes memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan
dengan individu tanpa diabetes diabetes mellitus merupakan penyakit yang sering
dijumpai bersamasama penyakit serebrovaskuler, yang merupakan faktor resiko
kedua terjadinya stroke. Seorang dikatakan menderita diabetes mellitus apabila
hasil pemeriksaan kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl atau pemeriksaan gula
darah puasa >140 mg/dl, atau pemeriksaan gula darah 2 jam postprandial
>200 mg/dl (Smeltzer & Bare, 2002).
Diabetes mellitus
menyebabkan kadar lemak darah meningkat karena konversi lemak tubuh yang
terganggu. Bagi penderita diabetes mellitus peningkatan kadar lemak darah
sangat meningkatkan resiko penyakit stroke. Diabetes mempercepat terjadinya
arterosklerosis baik pada pembuluh darah keci (mikroangiopati) maupun pembuluh
darah besar (makroangiopati) diseluruh pembuluh darah termasuk pembuluh darah
otak dan jantung. Kadar glukosa darah yang tinggi pada stroke akan memperbesar
meluasnya area infark (sel mati) karena terbentuknya asam laktat akibat
metabolisme glukosa yang dilakukan secara anaerob (oksigen sedikit) yang
termasuk jaringan otak (Junaidi, 2011). Penderita diabetes mellitus tubuhnya
tidak menangani gula secara tepat, tidak dapat memproses lemak secara efisien
dan akan mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya hipertensi. Diabetes
juga berperan pada kemampuan tubuh untuk mencegah gumpalan darah beku,
meningkatkan resiko stroke iskemik.
Siswanto (2005)
dalam penelitiannya menunjukan bahwa resiko untuk terjadinya stroke berulang
pada subyek dengan kadar gula darah puasa >140 mg/dl sebesar 2,63 kali
dibandingkan dengan kadar gula darah puasa 200 mg/dl beresiko terkena stroke
berulang sebesar 3,16 kali dibandingkan dengan kadar gula darah puasa 2 jam pp
>200 mg/dl beresiko terkena stroke berulang sebesar 3,16 kali dibandingkan
dengan kadar gula darah puasa <140 mg/dl.
c.
Kelainan Jantung
Sirkulasi serebral
sebagai sistem kardiovaskuler mempunyi arti fungsinya tergantung efektifitas
jantung sebagai pompa, integritas pembuluh darah sistemik dan komponen darah
dalam memenuhi kebutuhan darah dan oksigen. Otak membutuhkan 25% dari konsumsi
oksigen ke seluruh tubuh dengan menggunakan 20 % curah jantung semenit.
Kejadian stroke selalu berhubungan dengan penyakit lain. Kelainan jantung
sering berhubungan dengan stroke berulang adalah aterosklerosis, disritmia
jantung khususnya fibrilasi atrium, penyakit jantung iskemik, infark miokard
dan gagal jantung.
Penderita dengan
kelainan jantung beresiko tinggi terhadap terjadinya stroke bila dibandingkan
dengan yang tidak mempunyai kelainan jantung. Penyakit jantung hipertensi
dengan hipertrofil ventrikel kiri yang terlihat pada EKG, sangat terkait dengan
kenaikan resiko baik stroke iskemik maupun pendarahan. Lesi dijantung dapat
pula melepaskan emboli ke sirkulasi arterial, seperti mural thrombus akibat
infark yang lama atau thrombus yang terjadi pada fibrilasi atrium (Husni &
Laksmawati, 2001 dalam Siswanto, 2005). Siwanto (2005), dalam penelitiannya
menunjukan bahwa kelainan jantung terbukti memiliki hubungan yang bermakna
dengan kejadian stroke berulang dengan resiko sebesar 2,85 kali.
d.
Merokok
Merokok
meningkatkan resiko terkena stroke dua sampai empat kali. Hal ini berlaku untuk
semua jenis rokok (sigaret, pipa atau cerutu) dan untuk semua tipe stroke,
terutama perdarahan subarachnoid karena terbentuknya aneurisma dan stroke
iskemik. Merokok memberikan konstribusi terbentuknya plak pada arteri. Asap
rokok mengandung beberapa zat berbahaya yang sering disebut zat oksidator. Zat
oksidator ini menimbulkan kerusakan dinding arteri dan menjadi tempat
penimbunan lemak, sel trombosit, kolesterol, penyempitan dan pergeseran arteri
diseluruh tubuh termasuk otak, jantung dan tungkai, sehingga merokok dapat
memicu terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan
darah menggumpal sehingga beresiko terkena stroke (Pinzon & Asanti, 2010).
Peranan rokok pada aterosklerosis menurut Junaidi (2011) adalah merokok
menurunkan jumlah kolesterol baik dan menurunkan kemampuan kolesterol baik
untuk menyingkirkan kolesterol jahat yang berlebihan karena sel-sel darah
menggumpal pada dinding arteri, ini meningkatkan resiko pembentukan trombus dan
plak. Rokok dapat menyebabkan peningkatan kecepatan detak jantung serta memicu
penyempitan pembuluh darah.
Penelitian yang
dilakukan Siregar (2005) menunjukan bahwa merokok merupakan faktor yang kuat
untuk terjadinya stroke. Begitu juga penelitian yang dilakukan Zhang dkk
(2010), di Cina menyebutkan bahwa merokok mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap terjadinya stroke dan juga perempuan yang tinggal bersama suami yang
merokok aktif (1-9 batang perhari) beresiko 2 kali untuk terkena stroke.
Siswanto (2005) dalam penelitiannya menunjukan bahwa penderita stroke yang
merokok memiliki resiko 1,28 kali untuk terkena stroke berulang meskipun resiko
tersebut tidak bermakna secara statistik.
e.
Aktifitas fisik (olahraga)
Aktifitas fisik
dapat dinilai dari aktifitas ditempat kerjanya maupun kegiatan olahraga,
aktifitas berat dipengaruhi dari kegiatan yang lebih banyak diluar ruangan dan
banyak bergerak seperti atletik, tentara dan buruh bangunan. Aktifitas ini
dilakukan lebih dari 3 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 jam seminggu.
Aktifitas sedang dipengaruhi dari kegiatan yang dilakukan baik didalam ruangan
maupun di luar ruangan, seseorang kurang aktif secara fisik (yang olahraganya
kurang dari tiga kali atau kurang per minggu 30 menit) memiliki hampir 50%
resiko terkena stroke dibanding mereka yang aktif. Berbagai kemudahan hidup
yang didapat seperti mencuci dengan mesin cuci untuk rumah tangga, banyaknya
kendaraaan bermotor serta kemajuan teknologi membuat aktifitas seseorang
semakin hari semakin ringan atau mudah, namun dampak dari kemajuan teknologi
ini sesorang dapat menjadi pasif dan cenderung menimbulkan masalah berat badan
dan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi yang nantinya memicu
terjadinya aterosklerosis bila masalah berat badan tidak diimbangi dengan
olahraga yang cukup (Wahyu, 2009). Siswanto (2005), dalam penelitiannya
menunjukan bahwa resiko untuk terjadinya stroke berulang pada penderita stroke
yang tidak rutin dalam melakukan aktivitas fisik sebesar 1,77 kali dibandingkan
dengan penderita stroke yang melakukan aktivitas fisik secara rutin.
f.
Kepatuhan kontrol
Penderita stroke
harus sering memeriksakan dirinya kedokter atau rumah sakit. Selain kontrol
kedokter penderita stroke harus mengontrol kolesterol, penderita stroke juga
harus mengontrol gula darahnya. Seseorang yang berusia 60 tahun dengan tekanan
sistolik 135 mmHg (premiery prevention of stroke, AHA/ASA guideline stroke,
2006 dalam Bethesda stroke center literature, 2008) kemungkinan untuk
mendapatkan stroke iskemik dalam jangka waktu 8 tahun adalah 8/1000. Bila
disamping itu menderita diabetes mellitus, kemungkinan untuk mendapatkan stroke
meningkat menjadi 17/1000. Bila tekanan sistolik 180 mmHg probabilitasnya
adalah 30/1000 dengan diabetes mellitus meningkat menjadi 59/1000 (Lumantobing,
2002). Siswanto (2005), dalam penelitiannya menunjukan bahwa kebiasaan
penderita stroke melakukan kontrol tidak teratur memiliki hubungan yang
bermakna terhadap kejadian stroke berulang dengan resiko mencapai 3,84 kali
dibandingkan dengan penderita stroke yang melakukan kontrol secara teratur.
g.
Obesitas
Terdapat saling keterkaitan antara
obesitas dengan resiko peningkatan hipertensi penyakit jantung, stroke,
diabetes mellitus dan merupakan beban penting pada kesehatan jantung dan
pembuluh darah. Obesitas dapat meningkatkan kejadian stroke terutama bila
disertai dengan dislipedemia dan hipertensi melalui proses aterosklerosis.
Obesitas juga dapat menyebabkan terjadinya stroke lewat efek snoring atau
mendengkur dan tiba-tiba henti napas karena terhentinya suplai oksigen secara
mendadak di otak. Obesitas juga membuat seseorang cenderung mempunyai tekanan
darah tinggi, meningkatkan resiko terjadinya diabetes juga meningkatkan produk
sampingan metabolisme yang berlebihan yaitu oksidan atau radikal bebas
(Junaidi, 2011).
Penurunan berat badan adalah perubahan
gaya hidup yang paling besar pengaruhnya terhadap perbaikan tekanan darah. Hal
ini dibuktikan dengan mereka yang berusia 50-65 tahun yang mengalami penurunan
berat badan 7 kg atau lebih mengalami penurunan resiko terserang hipertensi
sebanyak 21%. Sedangkan kelompok yang lebih tua yang mengalami penurunan berat
badan yang sama resikonya pun turun 29%. Lewis, dkk (2007), dalam penelitiannya
menunjukan bahwa penurunan berat badan 10 kg dapat menurunkan tekanan darah
sistolik 5-20 mmHg.
h.
Minum Alkohol
Minum alkohol
secara teratur lebih dari 30 gram per hari (pria) atau 15 gram per hari
(wanita), mabuk-mabukan (minum lebih dari 75% gram dalam 24 jam) dan
alkoholisme dapat meningkatkan tekanan darah sehingga dapat meningkatkan resiko
stroke. Minum alkohol dalam jumlah sedikit pun dapat meningkatkan tekanan
darah, oleh karena itu harus dihindari untuk seorang yang memiliki riwayat
hipertensi karena dapat menimbulkan komplikasi berat (Wahyu, 2009).
Martuti (2009),
dalam penelitiannya menunjukan bahwa mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan
tekanan darah secara cepat. Seseorang yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 3
gelas atau lebih setiap hari sudah cukup untuk meningkatkan tekanan darah.
i.
Diit
Menurut Lewis, dkk
(2007), diet dengan tinggi lemak dan kurangnya buah dan sayur dapat
meningkatkan resiko terjadinya stroke. Pernyataan ini juga didukung oleh
premiery prevention of stroke AHA/ASA guideline stroke, (2006, dalam Bethesda
stroke center literature, 2008), yang menyatakan bahwa asupan makanan yang
mengandung banyak sayur dan buah dapat mengurangi terjadinya stroke. Pemakaian
sodium yang berlebihan juga dapat meningkatkan tekanan darah (Black &
Hawks, 2009).
Menurut Martuti
(2009), dalam penelitiannya menunjukan bahwa pasien stroke perlu membatasi
asupan garam karena kandungan mineral natrium (sodium) didalamnya memegang
peranan penting terhadap timbulnya hipertensi. Hasil penelitian menunjukan
bahwa angka kejadian stroke meningkat pada pasien dengan kadar kolesterol
diatas 240 mg%. Setiap kenaikan kolesterol 38,7 mg% menaikan angka stroke 25 %
sedangkan kenaikan HDL (high density lipoprotein) 1 mmol (38,7 mg%) menurunkan
terjadinya stroke setinggi 47% (premiery prevention of stroke, 2006 dalam
Bethesda stroke center literature, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Giantani (2003), menunjukkan bahwa kenaikan kadar kolesterol berpengaruh
terhadap resiko stroke iskemik sebanyak 3.09 kali.
Serat makanan juga
dibutuhkan untuk proses metabolisme dalam tubuh. Diet tinggi serat bermanfaat
untuk menghindari kelebihan lemak, lemak jenuh dan kolesterol. Setiap gram
konsumsi serat juga menghindari kelebihan gula dan natrium serta dapat
menurunkan berat badan dan mencegah kegemukan. Dietary guedelines for American
menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung serat 20-35 gr perhari
(Martuti, 2009).
Lalu bagaimana
tanda dan gejalanya? Mari simak video dibawah ini.
Referensi:
Smeltzer,
Suzanne C., & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth.
Video Source on Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=kWPpQCyCWiI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar